Naik gunung itu, bagaimana ya . . .
Banyak yang bilang, naik gunung adalah momen terindah evolusi kegunaan kaki manusia : merangkak – belajar jalan – jalan – lari – naik gunung.
Bagi orang-orang dari mazhab ini, naik gunung ialah kenikmatan surgawi yang bocor ke planet Bumi, ialah klimaks yang foreplay-nya telah dimulai sejak “Bro, kapan muncak lagi ?”
Sedangkan dari perspektif lain, ada segelintir jamaah dari mazhab rebahan yang menilai bahwa naik gunung merupakan sinonim dari kaki keseleo, gatal-gatal, hilang sinyal, dan kesasar.
Apapun itu, saya tidak akan membahas kontra-keyakinan di atas.
Perbedaan pendapat soal makan bubur dengan cara diaduk atau tidak diaduk dan perselisihan metode menyantap mie instan dengan atau tanpa nasi sudah cukup membuat saya muak.
Saya tidak mau perjalanan hidup saya lebih memuakkan lagi.
Karena itu, di sini saya hanya akan membahas inti permasalahannya saja : kenapa sih orang mau capek-capek naik gunung ?
Toh pada akhirnya…
… tak peduli badai inflasi meluluh-lantakkan sebuah negara, tak peduli populasi janda semakin meningkat tajam setiap tahunnya, “naik ke puncak gunung” akan tetap jadi salah satu aktivitas paling dinanti di tengah hegemoni tahun baru dan / atau tanggal merah lainnya.
Benar ? Jadi sekali lagi,
Daftar Isi :
Kenapa Sih Mau Capek-Capek Naik Gunung ?
Sebelumnya, mari kita enyahkan dulu jamaah rebahan yang sudah kita bahas di awal tadi dari pikiran kita.
Sebab, kalau mereka ditanya kenapa orang mau capek-capek naik gunung, jawabannya akan sama “udah tau bikin capek, napa juga repot-repot naik gunung ? Enakan juga rebahan.”
Atau ada juga kaum zona nyaman, yang lebih rela membawa barang untuk liburan ke kota atau ke pantai, karena bisa ditinggal di hotel. Bukan terus-terusan dibawa di punggung
Dan tulisan ini berakhir. Saya jadi bingung mau nulis apa lagi, Anda galau mau baca apa lagi.
Ya, percaya atau tidak, kaum pemalas seperti mereka benar-benar memberi sumbangsih besar terhadap menurunnya minat membaca di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekarang, otak Anda sudah steril dari bayangan mereka ?
Kalau sudah, lanjut.
Begini, selalu ada alasan kuat mengapa sebuah hobi tercipta. Dan alasan itu, tidak harus berbanding lurus dengan sedikit atau banyak peminatnya.
Naik gunung jelas jadi contoh nyata.
Dibanding jumlah penduduk Indonesia ( per tahun ini ada di angka 269,6 juta jiwa ), aktivis naik gunung tidaklah seberapa. Hanya sebesar buah dzarrah, kira-kira.
Tapi, topiknya dibahas di mana-mana, peminatnya pun terus beregenerasi. Artinya, tren naik gunung sangat stabil, tak seperti tingkah sepasang suami-istri yang tendensinya naik-turun.
Mengapa bisa begitu ?
1. Karena Naik Gunung Adalah Perspektif Lain
Melihat sunrise dari balkon rumah ? Biasa. Menyaksikan sunset di pesisir pantai ? Hampir semua manusia pernah melakukannya.
Tapi menikmati keduanya dari puncak tertinggi ? Itu baru luar biasa.
Ya, setelah perjalanan panjang yang melelahkan, sunrise dan sunset adalah hadiah yang tak ternilai harganya. Itu, rasanya seperti dapat doorprize satu box mie instan di seperempat bulan terakhir, semacam dapat lamaran di malam Valentine, tepat pukul 00:00.
Nah, biasanya, para pendaki menikmati momen beberapa menit itu sambil ngopi ditemani ubi bakar yang gosong di sana-sini. Atau kalau beruntung, sembari melahap nasi kucing yang porsinya sedikit sekali.
Tapi bagi mereka, ketidaksempurnaan itu justru merupakan cara terbaik untuk menghargai keagungan tuhan : Menghargai tanpa perlu jumawa, menghargai dari sudut pandang yang berbeda.
2. Wujud ke-Tunggal Ika-an Sesungguhnya
Apa hubungannya Tunggal Ika sama naik gunung ?
Kalau Anda mau tahu, para pendaki adalah gerombolan orang yang punya solidaritas tinggi.
Bagi mereka, warna kulit, agama, tempat tanggal lahir, dan tim sepakbola kesayangan boleh berbeda. Tapi setelah menginjakkan kaki di pos pertama, semua adalah sama. Tidak ada yang berbeda. Satu nusa, satu bangsa.
Oya, satu bahasa juga.
Jadi jangan heran kalau Anda menyaksikan pemandangan yang sangat manusiawi dimana sesama pendaki saling membantu selama pendakian, gendong-gendongan, berbagi minum-makanan, dan berbaur dalam satu obrolan hangat setelah sampai puncak.
Meskipun mereka tidak saling kenal. Kecuali nama dan tempat asal.
Itulah wujud ke-Tunggal Ika-an yang sudah jarang terlihat di dataran rendah, yang mayoritas orangnya lebih suka ego-sentris, yang kesehariannya sudah bosan bertegur sapa, yang terlanjur hobi main HP sendiri-sendiri.
Dengan segala sepi dan ( kadang ) kemistisannya, gunung adalah pemersatu bangsa, ialah pengkudeta setiap pembeda, merupakan wahana tenggang rasa yang sesungguhnya.
Lereng gunung adalah jalan mencintai sesama, dengan puncak gunung sebagai klimaks keharmonisannya.
Ilmu, pengalaman, dan perasaan mendalam semacam itu, jelas, kaum rebahan tidak akan pernah tahu. Tidak akan pernah.
3. Kebanggaan Yang Hakiki
Rasa bangga timbul ketika tidak semua orang bisa melakukan.
Secara harfiah, berarti korupsi juga merupakan salah satu wujud dari kebanggaan dong ? Bagi mereka yang melakukannya, iya.
Tapi, sudahlah, mari kita ngobrol yang santuy-santuy saja.
Naik gunung itu membutuhkan effort, pengorbanan, dan cinta. Dari awal perencanaan hingga akhirnya berdiri di puncak yang diharapkan, merupakan proses panjang yang, sekali lagi, tidak semua orang bisa melakukan.
Dan itu, adalah sebuah kebanggaan yang tak ternilai harganya.
Banyak pendaki yang rela memangkas uang bulanan demi hobi yang menyebabkan candu ini. Beberapa yang lain, harus baku-hantam dulu dengan orang tersayang karena tidak diijinkan pergi.
Tapi kebanggaan tetaplah kebanggaan. Uang bulanan bisa dinanti lagi, dan faktanya, yang tersayang selalu datang dan pergi. Tapi kenikmatan hakiki berwujud naik gunung ini, sungguh, tidak akan pernah terganti.