“Yuk join ke gunung Manglayang, jalan jum’at malem, balik lagi ke bekasi minggu sore, pada mau ngga?”. Sepenggal obrolan saya bersama kawan – kawan Ray Adventure di sebuah malam di kantin kampus kala itu.
Ya, saya sendiri, Yadi, Ridwan, dan Andri bersama rekan – rekan dari travel agent Tapak Kaki Adventure melakukan pendakian gunung Manglayang pada 5 Desember 2014 lalu.
Gunung Manglayang terletak di antara Kabupaten Sumedang dan Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Ketinggiannya sekitar 1818 mdpl.
Dalam rangkaian pegunungan Burangrang – Tangkuban Perahu – Bukit Tunggul – Gunung Manglayang, gunung Manglayang menjadi gunung yang terendah dari rangkaian ke empat gunung tersebut.
Mungkin itulah sebabnya di kalangan para penggiat alam bebas gunung ini sempat terlupakan, terkecuali para penggiat alam bebas dari Bandung dan sekitarnya.
Padahal gunung Manglayang menawarkan pesona alamnya tersendiri, dan menjadi salah satu tempat liburan Bandung yang patut didatangi.
Pemandangan citylight kota Bandung di malam hari menjadi sajian panorama yang sangat memanjakan mata.
Untuk mendaki gunung Manglayang ada beberapa jalur yang bisa digunakan yaitu melalui Bumi Perkemahan atau Wanawisata Situs Batu Kuda ( Kab. Bandung ), Palintang ( Ujung Berung, Kab. Bandung ), dan Baru Beureum / Manyeuh Beureum, Jatinangor.
Kali ini kita akan melakukan pendakian dari jalur Batu Kuda, dan turun melalui jalur Baru Bereum. Catatan perjalanan dimulai tgl 5 Desember 2014 malam, sekitar pkl 19.00 kita sudah berkumpul di terminal Bekasi.
Saya lupa berapa orang persisnya yang hadir saat itu, karena sebagian lagi berangkat dari terminal Kampung Rambutan.
Kami naik bus jurusan Garut, dan turun di perempatan tol Cileunyi. Sekitar pkl 23.00 kami tiba di perempatan tol, dan langsung menuju satu – satunya masjid yang berada disana.
Masjidnya memiliki pelataran yang cukup luas dan nyaman, dan memang sering digunakan tempat beristirahat oleh para pendaki atau pengguna jalan lainnya sembari menunggu pagi.
Kami istirahat sambil menunggu rombongan kampung rambutan datang.
Saya pun tertidur lelap, sampai terdengar adzan subuh sekitar pkl 04.45, dan terlihat semua tim sudah berkumpul, kurang lebih berjumlah 18 orang.
Selesai shalat dan bersiap – siap, tepat pkl 06.00 kami mulai bergerak menuju pos pendakian. 2 angkot pun di sewa untuk mengangkut kami semua.
Perjalanan menuju pos Batu Kuda memakan waktu kurang lebih sekitar 1 jam.
Dan bahagianya, angkot yang saya naiki bersama 7 orang lainnya ternyata tidak mampu melewati beberapa tanjakan menuju pos, sehingga kami harus berulang kali turun sambil mendorong mobil tersebut.
Setelah bersusah payah, tibalah kami di pos pendakian sekitar pkl 07.15. Hilang sudah sisa kantuk tadi malam, berganti peluh keringat di dahi.
Udara disana sangat sejuk, suasananya tenang, jauh dari segala kebisingan kota dan polusi asap kendaraan.
Kami bersiap – siap. Ada yang sarapan, ada yang membeli perbekalan di satu – satunya warung disana, ada pula yang berebutan toilet untuk melakukan ritual alam.
Saya sendiri bersantai di sebuah bangku panjang sambil melemaskan otot, sementara para wanita sibuk berfoto ria di antara pepohonan pinus.
Tempat kami berdiam saat ini memang biasa digunakan untuk pelatihan kegiatan alam siswa sekolah. Areanya cukup luas sehingga sering digunakan untuk camping.
Pkl 08.30 kami sudah siap. Diawali dengan do’a, kami pun memulai perjalanan. Kebetulan pos Batu Kuda ditutup ( kurang jelas juga apa alasannya ) sehingga kami mengambil jalur ke timur melewati punggungan.
Saya tidak tahu apakah jalur tersebut lebih jauh atau justru lebih singkat. Medan pertama disambut oleh tanjakan yang lumayan terjal dan panjang.
Ya, benar saja, di tanjakan pertama itu tenaga kami sudah terkuras, karena tubuh yang belum panas namun sudah dihajar trek yang dahsyat.
Selepas tanjakan pertama kami semua terduduk beristirahat, hampir semuanya kepayahan. Cukup lama kami beristirahat sambil bercanda gurau.
Baca : Kembali lagi ke Manglayang.
Selang 15 menit perjalanan dilanjutkan. Trek kali ini merupakan jalur rerumputan di tepi tebing, dengan pepohonan yang masih jarang, udara cukup cerah saat itu.
Rombongan kami terbagi menjadi 2 kelompok, saya di kelompok terdepan bersama Yadi, Andri, Bang Imam dan Ridwan.
Sengaja saya berjalan lebih dulu karena saya membawa tenda, sehingga harus tiba lebih dulu untuk mendirikan tenda.
Tidak banyak foto – foto yang dilakukan sepanjang jalur naik, kami berjalan sangat santai sekali, sembari menikmati keindahan pemandangan dari ketinggian.
Kira – kira 2 jam kami berjalan, hujan tiba – tiba turun, kami pun membuat bivak darurat dari flysheet, sambil mempersiapkan jas hujan.
Saya dan rombongan pertama memutuskan untuk terus berjalan memakai jas hujan, sedangkan rombongan kedua sepertinya masih berdiam di bawah bivak sambil menunggu hujan reda.
Susunan anggota berubah. Rombongan depan saat terdiri dari saya, bang Imam, bang Arwin, Andri, dan si kecil Thorif ( adiknya Hardi ).
Jalur pendakian semakin variatif, ada tanjakan dengan tanah merah sebagai pijakannya, sehingga bisa dibayangkan betapa licinnya dengan kondisi hujan saat itu.
Ada pula jalur bebatuan yang mengharuskan kita semi climbing. Sesaat sebelum tiba di puncak, jalur berupa hutan basah yang cukup rapat.
Pada saat musim hujan kaki sangat riskan terkena pacet, oleh karenanya dianjurkan memakai celana panjang.
Lebih baik lagi jika kaki diolesi lotion / minyak kayu putih, agar tidak dihinggapi oleh pacet. Di sepanjang jalur pun tidak terdapat sumber air.
Sekitar pkl 12.45 kami tiba di puncak gunung Manglayang. Alhamdulillah puji syukur terucap dari kami, bersyukur masih diberi nikmat Allah merasakan keindahan ciptaan-Nya.
Puncak Manglayang adalah sebuah tanah datar yang luas, sanggup menampung sekitar 15 tenda dome.
Namun di sekelilingnya dikelilingi oleh hutan rapat, sehingga tidak ada spot untuk menyaksikan pemandangan, dan lagi tidak ada sumber air disana.
Jarang yang membuka tenda disana, kebanyakan orang akan menuju puncak bayangan dan menginap disana, karena pemandangan disana jauh lebih terbuka.
Sekitar 30 menit kami beristirahat, sambil menunggu rombongan kedua yang tak kunjung tiba.
Akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju puncak bayangan, ke arah jalur turun Baru Bereum. Perjalanan ditempuh kurang lebih 30 menit dengan jalur turun yang lumayan terjal.
Jalur tersebut merupakan jalur aliran air pada musim penghujan, sehingga jalanan menjadi sangat licin. Beberapa kali kami terpeleset. Hujan masih rintik – rintik ketika kami sampai di puncak bayangan sekitar pkl 15.00.
Benar saja, pemandangan disana sangat terbuka ke arah kota Bandung, saya membayangkan pasti indah pada malam nanti. Puncak bayangan tidak seluas puncak utama, bentuknya terdiri dari 3 tingkatan.
Tingkat teratas hanya mampu menampung 1 tenda, di bawahnya cukup datar dengan kapasitas sekitar 4 tenda, dan tingkatan paling bawah sanggup menampung sekitar 5 tenda ( di sisi jalur ).
Kami memutuskan mendirikan tenda di tingkat kedua, karena kondisi tanahnya juga yang paling rata.
Di tengah kami mendirikan tenda, hujan deras pun turun. Kami terus bekerja mendirikan 4 tenda yang kami bawa, Andri membantu membuatkan jalur air di sekeliling tenda.
Lumayan kacau keadaan saat itu, disertai pula dengan angin yang cukup kencang. Akhirnya satu per satu rombongan belakang mulai datang, dengan pakaian yang sudah tidak karuan bentuknya karena kotor oleh tanah merah yang basah.
Tidak banyak kegiatan yang kami lakukan sampai malam, karena hujan yang turun tanpa henti terus mengguyur tenda kami.
Kebetulan saya berada 1 tenda bersama Andri, Ridwan, dan Yadi. Malam pun kami habiskan dengan bermain kartu, sampai sekitar pkl 23.00 kami mulai persiapan tidur.
Pkl 04.30 alarm berbunyi. Saya dan Andri yang pertama bangun dan keluar tenda.
Sejak awal saya memang berniat mengambil gambar keindahan citylight kota Bandung yang banyak dibicarakan orang – orang. Setelah mempersiapkan kamera, saya bersama Andri berjalan menuju ke atas.
Dan benar saja, subhanallah, pemandangan yang tersaji sungguh indah. Gemerlap lampu kota diselimuti kabut tipis di atasnya, menciptakan bias cahaya yang sangat indah.
Tiada kata selain bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepada kami saat itu. Lama kami berdiam diri disana, menikmati ketenangan malam, sambil mengabadikan beberapa foto.
Saya menyesal tidak membawa tripod saat itu, sehingga hasil fotonya pun tidak terlalu fokus / agak blur.
Kami sengaja menunggu saat – saat penting ketika matahari terbit, pasti indah sekali. Namun ternyata awan masih cukup tebal menyelimuti, sehingga sinar oranye yang terpancar dari sang Surya pun hanya terlihat sebagian saja.
Puas berfoto – foto, saya berdua pun turun kembali menuju ke tenda, sedangkan mayoritas para pendaki lain baru mulai mendaki ke atas untuk menyaksikan momentum matahari terbit.
Di tenda, kami mulai membuka perlengkapan logistik, dan mulai acara masak – memasak. Semalam lalu kami tidak bisa memasak apapun karena hujan yang tak henti mengguyur bumi Manglayang.
Sekitar pkl 09.00 kami semua sudah selesai makan, packing, dan membereskan tenda. Diawali do’a, kami memulai perjalanan turun melewati jalur Baru Bereum.
Perjalanan turun dihiasi acara perosotan, karena kondisi jalur berupa tanah merah yang memang merupakan jalur air bekas hujan semalam, menjadi sangat licin.
Hampir sepanjang jalur turun merupakan tanah merah, memerlukan tenaga ekstra bagi kami. Alhamdulillah saat itu hujan tidak turun.
Sekitar pkl 12.00 kami tiba di bawah. Sebelum pos Baru Bereum, ada sebuah kali kecil. Kami semua membersihkan diri disana, membersihkan pakaian dan sepatu dari tanah merah basah yang menempel.
Bahkan cover bag carrier menjadi sangat kotor karena kami berulang kali terjatuh. Sungguh pengalaman yang sangat seru dan tidak terlupakan.
Tiba di pos, beberapa dari kami langsung mandi, beberapa yang lain memesan minuman hangat dan makanan di warung yang tersedia disana.
Sekitar pkl 13.30 kami berjalan sekitar 10 menit menuju tempat angkot kami menjemput, angkot yang sama dengan saat mengantar kami naik kemarin.
Jalanannya merupakan bebatuan yang rusak cukup parah, sehingga angkot tidak mau naik sampai ke pos Baru Bereum.
Kami diantar hingga ke shutle pemberhentian bus, lalu kemudian kami semua berpisah disana menuju ke jurusan tempat tinggal masing – masing.
Saya sendiri bersama Yadi, Ridwan, dan Andri naik bus jurusan Bekasi. Kami tiba di Bekasi sekitar pkl 17.40.
Perjalanan pendakian kali ini sangat menyenangkan, sangat banyak pelajaran baru yang bisa diambil. Bagaimana kita harus belajar menghargai alam, apapun bentuknya, terlebih gunung.
Jangan pernah memandang seberapa tinggi gunung tersebut, karena sesungguhnya tidak ada yang mampu menduga apa yang bisa terjadi di alam.
Gunung Manglayang setinggi 1.818 mdpl, jauh kalah tinggi dan terkenal dengan gunung – gunung megah lainnya macam Kerinci, Semeru atau Rinjani. Namun ternyata Manglayang menyuguhkan jalur pendakian yang sangat dahsyat.
Karena sesungguhnya dengan kondisi seperti itu, bukanlah gunung yang harus kita talukkan, melainkan diri kita sendiri, agar kita mengetahui seberapa jauh batas dalam diri kita di alam, seberapa jauh kita mampu bertahan dalam keterbatasan, seberapa besar rasa peduli kita terhadap rekan satu tim, dan seberapa besar kesadaran kita untuk menghargai alam, apapun bentuknya, dimanapun tempatnya.
Ayok miin.. brancuut..
hahaha maen berangkat – berangkat aja, cucian udah diangkatin blm mpokk