Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai suku, agama, dan bahasa. Tetapi suku Pakpak masih jadi kekayaan “asing” di telinga kita.
Etnis yang banyak mendiami Kabupaten Tapanuli Tengah hingga Kabupaten Pakpak Bharat ini sebenarnya termasuk etnis yang besar. Penyebarannya bukan hanya di kawasan Sumatera Utara saja, melainkan sampai ke Aceh ( tepatnya di Kota Subulussalam dan Kabupaten Singkil ).
Banyak kajian ilmiah menjelaskan keterkaitan suku ini dengan suku Batak, dimana Pakpak dikategorikan sebagai sub etnis Batak, begitu klaimnya. Tentu saja ini dikarenakan konsentrasi penyebarannya yang lebih banyak berpusat di Sumatera Utara.
Tetapi dalam buku Batu Pertulanen di Kabupaten Pakpak Dairi dipaparkan sederet bukti yang menunjukkan bahwa Pakpak bukan termasuk sub etnis Batak. Jadi, manakah yang benar ?
Daftar Isi :
Sejarah Suku Pakpak
Merunut kembali sejarah suku Pakpak di Tanah Dairi, Anda mungkin tak akan mengira bahwa suku ini sebenarnya berasal dari India Selatan. Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa nenek moyang suku ini ialah Kada dan Lona yang merupakan warga asli India.
Kada dan Lona diceritakan pergi dari India lalu menetap di Tanah Dairi. Selama mendiami Tanah Dairi, keduanya memiliki anak bernama Hyang. Saat dewasa, Hyang menikah dengan putri Raja Dairi. Keduanya pun dikaruniai 7 orang putra juga seorang putri. Masing–masing diberi nama Mahaji, Perbaju Bigo, Ranggar Jodi, Mpu Bada, Raja Pako, Bata, Sanggar, dan ( putri ) Suari.
Si sulung, Mahaji, diketahui memiliki kerajaan di Banua Harhar ( saat ini disebut Hulu Lae Kombih, Kecamatan Siempat Rube ). Namun gosipnya, Mpu Bada adalah yang paling fenomenal. Sosok ini diakui suku Toba sebagai onyang mereka. Bahkan tak sedikit yang menyebutkan bahwa Mpu Bada merupakan salah satu keturunan Parna yang bermarga Sigalingging.
Lompati saja soal Mpu Bada yang asal usulnya dapat mengundang perdebatan baru. Suku bangsa Pakpak sendiri, oleh Antropolog, dimasukkan ke dalam sub etnis suku Batak. Oleh karena itu, status Pakpak dalam struktur sosial disetarakan dengan Toba, Karo, Angkola, Mandailing, dan Simalungun.
Hal ini semakin kuat dengan didukung oleh folkore ( cerita rakyat ), kesamaan bahasa, dan kemiripan nama marga yang dimiliki keduanya. Jadi, itulah fakta yang selama ini diakui oleh publik.
Beberapa Keunikannya
1. Memiliki Banyak Suak
Rakyat Pakpak seperti suku daerah lainnya, memiliki keunikan tersendiri. Suku ini memiliki dialek yang khas dan terdiri atas banyak suak alias sub suku. Menurut wilayah persebarannya, Pakpak memiliki 5 suak, diantaranya ialah suak kelasen, suak keppas, suak simsim, suak pegagan, dan suak boang.
Suak keppas, suak simsim, dan suak pegagan secara administratif menempati Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat. Sementara, suak kelasen banyak tersebar di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Untuk suak boang, daerah penyebarannya berfokus di Kabupaten Singkil ( Aceh ).
2. Rumah Adat Suku Pakpak
Kata siapa Pakpak tak punya rumah adat ? Suku bangsa ini bahkan punya aturan ketat soal rumah khasnya.
Hal ini menjadi keunikan suku Pakpak karena mereka hanya membolehkan rumah adatnya dibangun oleh pemegang hak wilayah atau dalam bahasa setempat disebut Raja Kuta. Dengan demikian, izin untuk membangun rumah adat tidak diberikan ke sembarang orang maupun desa.
Pernah suatu ketika, suku Pakpak memiliki Rumah Sipitu Ruang Kurang Dua Lima Puluh sebagai rumah adat dan Bale Silendung Bulan sebagai balai adat. Namun kedua bangunan tersebut sudah lapuk termakan usia. Ada pula yang hangus terbakar saat konflik saudara.
3. Menukar Marga
Kebudayaan suku Pakpak yang lain ditunjukkan lewat aktivitas pertukaran marga. Hal ini sebenarnya adalah cara orang Pakpak dalam beradaptasi dengan lingkungan “baru”, misalnya saat merantau.
Kebanyakan orang-orang asli Pakpak cukup mudah dalam mempelajari bahasa daerah lain dan tak segan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari–hari. Perlahan, bahasa ibu pun terlupakan.
Adaptasi level ekstrem terjadi kala orang Pakpak menikah dengan suku lain. Ketika itu terjadi, orang Pakpak rela melebur dengan kebudayaan baru dan menyebabkan terjadinya dekulturasi nilai / subkultur Pakpak.
Hal ini dapat berujung pada perubahan marga Pakpak menjadi marga yang lain. Contohnya marga Matanari ( Pakpak ) menjadi Karo–Karo ( Karo ), marga Sambo menjadi Sihotang, marga Matanari menjadi Sinulingga ( sub Karo- Karo ), dan lain sebagainya.
Jelas, tenggelamnya identitas suku ini dikarenakan dominasi etnis lain. Tetapi tak ada yang perlu disalahkan. Pasalnya, suku Pakpak melakukannya dengan “suka rela”. Sebab, suku ini dikenal penuh toleransi dan senang hidup berdampingan dengan orang lain.
Oleh karenanya, orang Pakpak rela memberikan apa saja, termasuk tanah kelahirannya. It is either fascinating or ironic fact about them.
4. Pernikahan Dalam Suku
Dalam sistem pernikahan, budaya suku Pakpak menerapkan konsep eksogami marga. Dengan demikian, pernikahan sesama marga tidak diakui.
Agar tidak dianggap incest ( sumbang ) atau melanggar adat, maka setiap orang harus menikah dengan orang yang berbeda marga dengannya. Contohnya marga Matanari ( Pakpak Pegagan ) menikah dengan marga Sambo ( Pakpak Boang ) atau marga Matanari ( Pakpak Pegagan ) menikah dengan marga bintang ( Pakpak Keppas ).
5. Tak Cukup Bangga Dengan Identitas Diri
Penelitian lebih jauh mengungkapkan bahwa rasa toleran bukan satu satunya penyebab orang Pakpak melupakan jati diri mereka. Ada juga faktor lain yang turut memengaruhi, yakni rasa malu atau kurang percaya diri.
Sering dijumpai, orang Pakpak “malu” menggunakan bahasa asli dan lebih bangga menggunakan bahasa daerah lain dalam kehidupan sehari-hari. Ini masih belum diketahui penyebabnya. Boleh jadi disebabkan sentimen sosial yang menyudutkan budaya Pakpak atau yang lainnya, entahlah.
Tetapi sudah seharusnya orang Pakpak pede menunjukkan eksistensi mereka. Menumbuhkan semangat kedaerahan memang PR berat, namun dengan sederet aset tangible dan intangible yang mereka punya, rasanya tak ada alasan untuk merasa malu.
Sejak tahun 2016, sudah ada pedoman yang bisa dipegang untuk melestarikan budaya Pakpak. Pedoman tersebut tertuang dalam Perda No. 3 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak.
Isinya tentang mewajibkan penggunaan adat budaya Pakpak di setiap kegiatan. Kalau menerapkannya, Pakpak bisa menjadi suku yang besar karena mempertahankan nilai–nilai substansial yang melekat pada diri.
Ciri Khas Pakpak Dalam Produk Budaya
Suku ini juga memiliki beberapa produk khas yang mudah dikenali. Salah satunya berupa kain tradisional, yakni Oles Pakpak. Oles Pakpak ialah selendang yang dihasilkan dari menenun benang lunsi dan benang pakan.
Cara pembuatannya masih menggunakan alat tenun bukan mesin ( ATBM ) sehingga memakan waktu yang cukup lama. Tetapi soal motif, Oles Pakpak cukup modern dan penggunaannya bisa diterima di berbagai acara.
Selain kain, suku Pakpak juga mempunyai seni ukiran yang unik. Kebanyakan terbuat dari bambu, tetapi ada juga yang dikombinasikan dengan kayu. Bentuk produknya umum, seperti perabotan dapur, alat makan, dan penghias ruangan. Tetapi ada juga yang khas, yakni gerga pakpak yang biasa dipakai menghias dinding.
Gerga pakpak terbagi menjadi beberapa jenis, yakni gerga perkais manuk marak, gerga perhembun kumeke, gerga perotor kerra, gerga adep, gerga perbunga kning, gerga dasa siwaluh, gerga persalimbat, gerga bulan, gerga beraspati, gerga nengger atau nipermunung, dan gerga tumpak salah silima.
Gerga perkais manuk marak melambangkan tiga unsur, yakni kula–kula ( keluarga pihak istri ), dengan sibeltek ( keluarga seketurunan ), dan berru ( keluarga suami anak perempuan ). Sementara. gerga perhembun kumeke melambangkan cita–cita yang berkaitan dengan keturunan dan kekayaan.
Gerga perotor kerra digambarkan sebagai lambang mencari rezeki. Gerga adep digambarkan sebagai kesuburan yang berkaitan dengan keturunan. Gerga perbunga koning menggambarkan keindahan kaum wanita.
Gerga dasa siwaluh dimaknai sebagai arah mata angin. Gerga persalimbat melambangkan persatuan dalam keluarga. Gerga bulan menggambarkan perhitungan musim. Dan, gerga beraspati melambangkan proteksi.
Penggunaan gerga pakpak biasanya disesuaikan dengan filosofinya. Jadi, tidak semuanya harus dipakai dalam keseharian aktivitas.